<< Kembali ke Peta << Kembali ke Gambar Rumah
Backlog Operasi Katarak Semakin Besar |
Data mengenai prevalensi gangguan penglihatan di Indonesia diperoleh dari survei Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB), yang dilakukan di 15 provinsi dari tahun 2014 hingga 2016. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa prevalensi kebutaan pada penduduk berusia lebih dari 50 tahun adalah 3,0%, dengan 70%-80% merupakan kasus gangguan penglihatan berat (severe visual impairment/SVI) dan kebutaan yang disebabkan oleh katarak (1).
Tabel 1. Hasil Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) di 15 Provinsi Indonesia
Sumber: Peta Jalan Penanggulangan Gangguan Penglihatan di Indonesia Tahun 2017-2030
Hasil RAAB pada Tabel 1. di atas menunjukkan Provinsi Jawa Timur sebagai Provinsi dengan jumlah kebutaan tertinggi pada penduduk berusia lebih dari 50 tahun, dengan katarak sebagai penyebab kebutaan tertinggi (81,1%). Pada Provinsi Papua Barat, hampir seluruh penyebab kebutaan disebabkan oleh katarak (94,1%).
Pada tahun 2016 diperkirakan setiap tahun terdapat tambahan sekitar 250.000 kasus baru kebutaan akibat katarak, sementara kemampuan untuk melakukan operasi hanya mencapai 180.000 per tahun. Hal ini menyebabkan backlog katarak bertambah sekitar 70.000 kasus setiap tahunya (2).
Target capaian Program Penanggulangan Gangguan Penglihatan di Indonesia tahun 2020-2024 diantaranya adalah peningkatan cataract surgical rate (CSR) sebesar 2000 operasi katarak per satu juta penduduk per tahun pada tahun 2024 (3).
Tabel 2. Jumlah Operasi Katarak Di Indonesia Tahun 2019 hingga 2022
2019 | 2020 | 2021 | 2022 | |
Jumlah kunjungan katarak | 331,228 | 390,157 | 271,275 | 356,916 |
Jumlah operasi katarak (BPJS) | 450,192 | 307,380 | 391,860 | 551,549 |
Sumber: Data BPJS Kesehatan untuk Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Catatan: Data hanya tersedia dalam bentuk “whole data” (data gelondongan) tanpa variabel sektor pelaksana maupun jenis tindakan operasi katarak yang dilakukan
Data Tabel 2. diatas merupakan data laporan BPJS Kesehatan bagi Kementerian Kesehatan RI. Terlihat bahwa tiap tahunnya sejak 2018, jumlah kunjungan katarak selalu lebih rendah dibandingkan dengan operasi katarak yang dilakukan. Hal ini menunjukkan adanya gap, mungkin saja pasien diperiksa atau diskrining melalui kegiatan bakti sosial sehingga tidak pernah melakukan kunjungan ke rumah sakit, dan mendatangi rumah sakit hanya untuk mendapat penanganan invasif berupa operasi katarak. Data tersebut juga terbatas pada penduduk peserta JKN saja sehingga tercatat pada sistem pelaporan BPJS Kesehatan. Sedangkan penduduk yang membayar dengan menggunakan asuransi kesehatan lainnya, seperti asuransi swasta, maupun out of pocket tidak terpotret kondisinya dari data tersebut.
Tabel 3. Cataract Surgical Rate (CSR) berdasarkan jumlah operasi katarak oleh BPJS Kesehatan dibandingkan dengan jumlah kepesertaan BPJS Kesehatan Tahun 2019-2022
2019 | 2020 | 2021 | 2022 | |
Jumlah operasi katarak* | 450.192 | 307.380 | 391.860 | 551.549 |
Jumlah peserta BPJS Kesehatan** | 208.054.199 | 224.149.019 | 222.461.906 | 235.719.262 |
CSR | 2.164 | 1.372 | 1.761 | 2.340 |
*Data BPJS Kesehatan untuk Kementerian Kesehatan RI
**Sismonev Dewan Jaminan Sosial Nasional
Berdasarkan hasil temuan Eye Care Situational Analysis yang dilakukan oleh tim peneliti FKKMK UGM bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan Indonesia dan Fred Hollows Foundation, Tabel 3 diatas menjelaskan tentang capaian Cataract Surgical Rate (CSR) pada peserta JKN. Pada tahun 2022 tercatat bahwa kemampuan melakukan operasi katarak secara nasional telah mencapai 551.549 dengan CSR mencapai 2340. Kendati demikian, angka ini masih terbatas pada peserta JKN saja.
Saat ini tim peneliti FKKMK UGM bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan Indonesia dan Fred Hollows Foundation tengah menyusun Peta Jalan Program Penanggulangan Gangguan Penglihatan dengan salah satu usulan target CSR 3000 pada tahun 2030. Dengan kondisi saat ini, untuk mencapai target CSR 3000 masih diperlukan tambahan sekitar 300.000-350.000 operasi katarak tiap tahunnya.
Gambar 1. Peta CSR tiap Provinsi di Indonesia pada Peserta JKN
Sumber: Data BPJS Kesehatan untuk Kementerian Kesehatan RI, 2022
Gambar 1 di atas menunjukkan peta persebaran Cataract Surgical Rate (CSR) di Indonesia yang terbatas pada peserta JKN. Kendati target CSR secara nasional telah tercapai, namun jika ditelusuri lebih lanjut pada tingkat daerah (provinsi), angka CSR masih sangat bervariatif. Warna terang menunjukkan semakin rendah angka CSR. Sebaliknya, semakin gelap warna pada peta menunjukkan CSR wilayah yang tinggi. Pada Tahun 2022, 3 daerah dengan tingkat CSR terendah berada pada Provinsi Papua Barat, Papua dan Kalimantan Tengah, yaitu dengan angka CSR kurang dari 600. Sedangkan 3 daerah dengan tingkat CSR tertinggi berada pada Provinsi Sumatera Barat, Gorontalo, dan Sulawesi Utara, dengan angka CSR lebih dari 4000 per 1 juta peserta JKN di wilayahnya.
Tabel 4. Cataract Surgical Coverage by the person (CSCperson) dan Cataract Surgical Coverage by eyes (CSCeyes) Hasil RAAB di 15 Provinsi, Indonesia, Tahun 2013-2017
Laki-Laki (%) | Perempuan (%) | Total (%) | |||||||
< 3/60 | < 6/60 | < 6/18 | < 3/60 | < 6/60 | < 6/18 | < 3/60 | < 6/60 | < 6/18 | |
CSCperson | 52.6 | 43.8 | 26.9 | 44.1 | 33.5 | 18.6 | 47.0 | 37.4 | 21.6 |
CSCeyes | 32.8 | 27.0 | 15.6 | 25.9 | 20.0 | 10.8 | 28.9 | 23.0 | 12.8 |
Sumber: Rif’Ati L, Halim A, Lestari YD, Moeloek NF, Limburg H. (2020)
Tabel 4. Di atas menunjukkan cakupan operasi katarak (Cataract Surgical Coverage/CSC) yang merupakan ukuran untuk menilai aksesibilitas dan efektivitas layanan operasi katarak dalam suatu populasi. Cakupan operasi katarak didefinisikan sebagai jumlah orang dalam suatu populasi yang telah menjalani operasi katarak sebagai proporsi dari mereka yang memiliki katarak yang dapat dioperasi. Dengan kata lain, CSC mengukur persentase individu dalam populasi yang telah menjalani operasi katarak, baik secara bilateral maupun unilateral. CSC merupakan indikator penting untuk memantau kemajuan menuju Cakupan Kesehatan Universal (Universal Health Coverage/UHC) (4). Hingga saat ini belum ada pembaharuan data terkait CSCperson dan CSCeyes di Indonesia.
Cakupan Bedah Katarak Efektif (Effective Cataract Surgical Coverage/eCSC) menggabungkan CSC dengan hasil penglihatan pasca operasi. eCSC mengukur jumlah orang yang telah menjalani bedah katarak dan mendapatkan hasil penglihatan yang baik (biasanya didefinisikan sebagai tajam penglihatan 6/18 atau lebih baik), sebagai proporsi dari seluruh pasien yang dapat dioperasi katarak (4). Data Effective Cataract Surgical Coverage (eCSC) pada tingkat nasional masih belum tersedia. Hal ini menunjukkan bahwa pemantauan (follow up) tajam penglihatan mata pasien pasca operasi katarak masih sangat lemah, demikian pula dengan pencatatan hasil follow up pasca operasi.
Terdapat beberapa faktor penyebab backlog operasi katarak yang terjadi di Indonesia, seperti keterbatasan akses ke pelayanan Kesehatan, terutama di daerah terpencil dan kepulauan (daerah 3T), kurangnya fasilitas dan tenaga medis yang terlatih, serta kurangnya kesadaran dan edukasi Masyarakat sebab masih banyak penderita katarak yang tidak menyadari bahwa dirinya mengalami katarak, sehingga tidak menjalani operasi (5).
Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan Sekitar 51,6% pasien tidak menyadari kondisi jika mereka mengalami katarak, 11,6% mengaku tidak mampu membiayai operasi, dan 8.1% karena takut operasi (6)
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI no. 82 Tahun 2020, dijelaskan bahwa dampak kerugian ekonomi akibat penurunan kualitas hidup yang direpresentasikan dengan Quality Adjusted Life Years (QALY) Lost adalah sebesar 84,7 triliun rupiah. Angka ini terus meningkat setiap tahunnya bila tidak ada intervensi untuk penurunan prevalensi kebutaan melalui operasi katarak, sehingga dalam 5 tahun akan menjadi 611,2 Triliun rupiah (7).