<< Kembali ke Peta << Kembali ke Gambar Rumah

Isu-Isu Kebijakan di Tahun 2024

(Akan dibahas dalam Kursus Metode Penelitian dan Analisis Kebijakan untuk FK-FK di Indonesia).

Tujuan dari pelayanan operasi katarak adalah mengurangi kebutaan yang diukur dengan menurunnya back-log. Untuk usaha menurunkan tersebut, tergantung pada berbagai faktor seperti yang digambarkan di model berfikir di atas, antara lain: (1) proses pelayanan operasi katarak; (2) pendanaan operasi katarak; (3) tenaga medik yang diperbolehkan melakukan operasi katarak; dan (4) catatan melalui IT yang baik.

DI setiap faktor tersebut ada berbagai pertanyaan kebijakan, antara lain:

(1) Kebijakan proses pelayanan operasi katarak.

  • Bagaimana Pencegahan Katarak: apakah mungkin dilakukan?
  • Bagaimana pilihan teknologi  Operasi Katarak dengan berbagai teknologi: Konvensional (non-phaco), phaco dengan berbagai macam lensa termasuk lensa-lensa premium.
  • Bagaimana penanganan untuk secondary cataract?

(2) Kebijakan Pendanaan

  • Apakah semua penderita katarak harus menggunakan BPJS? Andaikata semua pasien yang sudah didiagnosis oleh fasilitas BPJS mendapatkan operasi katarak dari BPJS, berapa implikasi biaya yang harus dikeluarkan BPJS. Apabila terjadi pemerataan pelayanan operasi katarak di Indonesia timur, bagaimana implikasi biayanya?
  • Apakah perlu dikembangkan sumber dana Non BPJS agar dapat meringankan beban BPJS? APakah ini didanai secara cash, ataukah melalui askes komersial.  Situasi saat ini menunjukkan bahwa ada operasi katarak premium dengan tarif yang bervariasi, jauh di atas tarif klaim INA-CBG BPJS. Tercatat antara Rp 15 juta sampai RP 100 juta untuk 2 mata. Saat ini terutama di Jakarta, tumbuh berbagai Klinik Mata dan RS yang fokus pada pelayanan operasi katarak premium.
  • Bagaimana sumber dana filantropi? Apakah dapat memperkuat pelayanan Bakti Sosial dengan menggunakan standar pelayanan BPJS, termasuk pasca-operasinya?

(3) Kebijakan SDM yang dapat melakukan operasi katarak:

a. Harus Dokter spesialis Mata atau residen Mata

  • Dokter SpM Indonesia yang melakukan operasi yang didanai BPJS dan non-BPJS. Apakah jumlahnya cukup?
  • Dokter SpM asing yang ikut melakukan bakti sosial. Apakah mungkin dilakukan, misal SpM dari Jepang melakukan bakti sosial bersama PERDAMI di pelosok Sulawesi dengan dana BPJS, atau filantropi, atau dana asing.
  • Residen. Apakah mungkin mendorong residen yang sudah kompeten untuk melakukan operasi katarak di tempat-tempat jauh.

b. Menggunakan prinsip Task-shifting (ada di UU Kesehatan 2023)

  • Dokter Umum dilatih kompetensi khusus operasi katarak dan hanya boleh berpraktek di daerah yang tidak ada SpMnya.  Apabila yang bersangkutan berpindah tempat, tidak boleh melakukan operasi katarak.
  • Perawat yang dilatih seperti yang ada di India untuk secara masif melakukan penurunan Back-log

(4) Kebijakan IT.

Apakah dapat dilakukan semacam register untuk penderita DM sehingga ada gambaran mengenai jumlah riil yang ada di Indonesia. Hal ini penting untuk daerah-daerah yang akses untuk SpM dan fasilitas kesehatan kecil.