<< Kembali ke Peta << Kembali ke Gambar Rumah
Isu-Isu Kebijakan di Tahun Berjalan |
Fraud atau kecurangan dalam layanan operasi katarak di Indonesia dalam kaitannya dengan klaim Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merupakan isu yang menjadi perhatian dalam setahun terakhir. Pada tahun 2024, beberapa laporan terkait praktik pembiayaan layanan katarak yang merugikan mulai mencuat, terutama di daerah-daerah dengan akses layanan kesehatan yang terbatas. Praktik-praktik ini melibatkan penyalahgunaan dana atau klaim medis yang tidak sesuai dengan realita. Beberapa fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) mata mungkin terlibat dalam praktik yang tidak transparan, seperti mengenakan biaya tambahan yang tidak dijelaskan dengan jelas kepada pasien.
Temuan pada Bulan Juli 2017 hingga Juni 2018, KPK melakukan monitoring ke enam fasilitas kesehatan di tiga provinsi. Hasil monitoring menunjukkan bahwa tiga fasyankes tersebut melakukan penipuan terkait catatan medis layanan fisioterapi dan operasi katarak, dalam bentuk penipuan klaim. Dari 39 pasien yang terdaftar, hanya 14 yang sebenarnya memenuhi syarat untuk dioperasi. Hal ini menunjukkan adanya manipulasi diagnosis, di mana rumah sakit mengklaim bahwa lebih banyak pasien telah menjalani operasi katarak daripada yang sebenarnya (18)(19).
KPK telah mengidentifikasi beberapa jenis penipuan klaim kepada BPJS kesehatan yang dilakukan oleh fasyankes. Pertama adalah phantom billing, yaitu pengklaiman untuk layanan medis yang tidak pernah diberikan. Tiga fasyankes yang terlibat dalam kasus ini yakni salah satu RS di Jawa Tengah dengan dugaan fraud sebesar Rp29,4 miliar dari 22.550 kasus; RS di Sumatera Utara dengan dugaan fraud sebesar Rp4,2 miliar dari 1.620 kasus; serta RS di Sumatera Utara dengan dugaan fraud sebesar Rp1,5 miliar dari 841 Kasus diduga telah melakukan rekayasa dokumen untuk mengklaim pembayaran dari BPJS Kesehatan dan menyebabkan kerugian negara sekitar Rp. 34M(16)(17). Kedua adalah manipulasi diagnosis. Beberapa rumah sakit juga membuat dokumen fiktif, meskipun pasien dan catatan medisnya tidak ada, hal ini menandakan adanya ketidaksesuaian antara layanan yang diberikan dan klaim yang diajukan (18)
Beberapa kejadian di atas merupakan kejadian penting dalam proses penyempurnaan sistem Universal Health Coverage (UHC) di suatu negara, yang dapat terjadi tidak hanya pada layanan katarak, namun pada semua layanan kesehatan yang tercakup dalam skema UHC. Canada dan Inggris sebagai contoh negara dengan skema UHC terbaik di dunia pun pernah mengalami kejadian fraud di layanan kesehatan. Fraud kesehatan di Inggris merupakan isu serius yang melibatkan berbagai bentuk penipuan dalam sistem layanan kesehatan atau dalam konteks sistem National Health Service (NHS). Beberapa bentuk Fraud Kesehatan yang pernah terjadi di Inggris seperti Klaim Palsu, yaitu mengajukan klaim untuk layanan yang tidak pernah diberikan, Upcoding, yaitu Mengubah kode prosedur untuk mendapatkan pembayaran lebih tinggi dan Phantom Billing, yaitu mengklaim pembayaran untuk layanan yang tidak dilakukan. Fraud Kesehatan tersebut menyebabkan kerugian sekitar 1,27 miliar Poundsterling setiap tahunnya (20).
Terdapat dua faktor mendasar yang berkontribusi terhadap munculnya fraud dalam layanan katarak pada konteks ini: pertama adalah kurangnya sistem pengawasan dan regulasi yang ketat dari penyedia pembiayaan, dalam hal ini BPJS Kesehatan, kepada fasyankes; kedua adalah minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh fasyankes, praktisi kesehatan, maupun masyarakat dalam hal prinsip-prinsip pembiayaan layanan kesehatan dalam skema UHC, termasuk kode etik, potensial pelanggaran, dan sanksi terhadap pelanggaran apabila dilakukan.
Berbagai langkah sudah diambil oleh BPJS Kesehatan pasca temuan fraud tahun 2017 dan 2018 seperti yang dimuat dalam berita di atas (REF). BPJS telah mengimplementasikan prosedur kendali mutu kendali biaya yang ketat untuk memastikan kejadian fraud dapat diminimalisir atau tidak terjadi di semua tingkat fasyankes di masa mendatang. Di samping itu, pemerintah juga perlu menetapkan dan menerapkan metode pengawasan klaim layanan katarak, perlu menetapkan batas-batas dalam hal klaim dianggap melanggar aturan ataupun etik, serta menerapkan sanksi yang tegas apabila ditemukan pelanggaran atau fraud. Dari sisi pemberi layanan katarak, diperlukan pemahaman akan pentingnya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pelayanan kesehatan. Sedangkan dari sisi Masyarakat sebagai penerima layanan katarak perlu memahami hak-hak mereka sebagai pasien dan cara melaporkan tindakan terindikasi fraud. Masyarakat sering kali kurang mendapatkan informasi yang memadai mengenai prosedur operasi katarak dan biaya yang seharusnya dikenakan. Dalam beberapa kasus, pasien dapat terjebak dalam situasi di mana mereka membayar lebih untuk layanan yang tidak sesuai dengan harapan atau yang tidak diberikan sama sekali. Oleh karena itu, penting bagi pasien untuk melakukan riset dan mendapatkan rekomendasi sebelum menjalani prosedur medis.
Upaya untuk memperbaiki sistem pengawasan dan audit di fasilitas kesehatan diharapkan dapat mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan.